Hamil dan menjadi seorang ibu adalah hal terbaik yang pernah terjadi pada diri saya. 2 bulan setelah pernikahan, saya positif hamil. Saat itu suami masih bekerja di Malang. Kami bertemu hanya di setiap akhir pekan. Kehamilan pertama tanpa suami mendampingi di sisi tentu tidaklah mudah.
Dari
sekian banyak perubahan yang terjadi pada masa kehamilan, perubahan
psikologislah yang paling mengganggu saya. Perasaan ingin diperlakukan spesial oleh
suami kadang muncul bertubi-tubi. Betapa nikmat ada yang memijit kaki di malam
hari. Betapa menyenangkan ada yang mengantar dan menjemput ketika bekerja.
Betapa bahagia bisa melihat si calon bayi bergerak-gerak lucu di layar monitor
USG bersama suami. Ah, keinginan-keinginan ini sempat menyiksa saya.
Setiap
kali periksa ke dokter kandungan, hati saya menangis sedih. Saya cemburu dengan
istri-istri lain yang sedang mengantri ditemani suami tercinta. Diantara mereka
memandang iba, seolah bertanya “kemana suamimu mbak?” Diam-diam air mata saya mengalir.
Suami
memang tidak bisa selalu mendampingi saya. Sedih sudah pasti. Namun gerakan dan
tendangan si janin di perut menjadi hiburan tersendiri bagi saya. Ada teman
kecil yang setia menemani. Ia yang menjadi penyemangat dan sumber kekuatan
hingga kini.
Bayi
saya diprediksi akan lahir tanggal 11 Agustus 2012. Namun tuhanlah yang maha
berkehendak. Dokter mengatakan kehamilan saya sudah 40 minggu dan bobot janin
sudah mencapai 3,8 kilo. Jika sampai tanggal 18 Agustus 2012 belum juga lahir, kemungkinan
janin akan semakin membesar dan ruang pinggul semakin sesak. Resikonya adalah saya
tidak bisa melahirkan secara normal.
16
Agustus 2012
Pukul
12.00 siang
Perut
mulai terasa mulas-mulas. Keluar lendir sangat kental bercampur bercak darah. Saya
meringkuk di tempat tidur, berharap bisa mengurangi rasa sakit. Hingga saat itu
saya masih berpuasa Ramadhan. Saya menghubungi suami agar bisa segera bersiap
pulang.
Pukul
24.00 tengah malam
Sudah
12 jam mengalami kontraksi terus menerus. Mata saya tak bisa terpejam sama
sekali. Saya jadi serba salah. Berbaring sakit. Berjalan-jalan sakit. Duduk
juga terasa sakit. Rasa nyeri di bagian bawah perut semakin menjadi-jadi. Saya
ditemani suami dan ibu bergegas menuju bidan terdekat. Masih pembukaan 3.
Diperkirakan akan lahir waktu shubuh nanti.
Pukul
06.00
Ketuban
sudah pecah. Bercak darah semakin banyak. Saya benar-benar lelah. Keringat
membasahi tubuh. Saya baca semua ayat-ayat suci yang saya hafal. Bayi yang
besar mengharuskan saya berusaha lebih ekstra. Tak cukup hanya dengan sekali
atau dua kali dorongan. Tak peduli sesakit apapun, asal bayi saya lahir
selamat. Inilah alasan mengapa tuhan menjamin surga bagi perempuan yang
meninggal saat melahirkan.
Pukul
07.20
Suara tangis bayi melengking. Alhamdulillah…
Terdengar
suara kelegaan dari luar kamar persalinan.
Putih
kemerahan, montok menggemaskan. Matanya terpejam dengan bibir mungil. Seorang bayi
perempuan!
Tepat
di hari kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 2012, saya mendapatkan label baru
sebagai seorang IBU. Hari disaat saya menerima anugerah paling berharga dari
tuhan. Sosok
mungil inilah yang kemudian menjadi sumber segala kebahagiaan saya. Ia
yang mampu mengubah amarah menjadi cinta.
Ia yang mampu
membuat saya tertawa disaat hati terluka.
Sampai
disini, saya tak bisa mengerti mengapa ada perempuan yang membuang bayi mereka?
Sementara perempuan lain mencoba berbagai cara bertahun-tahun lamanya agar bisa
hamil dan memiliki anak?
Waahhhh.,.pas 17 agustus...
ReplyDeleteBtw seumuran sm anak daku mbk, 2012 jg,,:)
Iya mbk, jadi mudah mengingatnya. Soale kami suka lupa tanggal2 penting ;)
DeleteAnaknya lahir bulan apa mbk?
kayak keponakan saya. Lahir di bulan Agustus juga. Tahunnya saya lupa. 2012 atau 2013 :D
ReplyDelete